Mukadimah Kedua
Dalam bagian ini, akan diterangkan mengenai:
– Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu hadits dan ilmu fikih
– Pengertian istilah hadits
– Pengertian istilah fikih
– Kaitan ilmu tafsir dengan ilmu tauhid
– Kaitan surat al-Fatihah dengan ilmu tauhid
[1] Kaitan Antara Tafsir, Hadits, dan Fikih
Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa poros ilmu agama adalah pada ketiga ilmu ini, yaitu: tafsir, hadits, dan fikih. Dan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ulama juga bahwasanya hakikat ilmu tafsir adalah penjelasan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan memadukan kedua pengertian ini dapatlah kita simpulkan bahwa sesungguhnya keberadaan ilmu hadits dan fikih juga memiliki fungsi yang sama, yaitu menjelaskan kandungan al-Qur’an. Dengan kata lain, pada dasarnya ilmu hadits dan fikih adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu tafsir. Sehingga orang yang mempelajari hadits dan fikih pun pada hakikatnya sedang mempelajari tafsir.
Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penjelas dan pemberi keterangan tambahan terhadap apa-apa yang telah dijelaskan secara global di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu tidak mungkin bisa memahami maksud al-Qur’an dengan baik dan sempurna jika tidak merujuk kepada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di sisi lain, untuk memahami secara detil aturan-aturan hukum dan tata cara ibadah yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadits maka dibutuhkan ilmu fikih yang telah menyusun hal itu secara lebih sistematis dan spesifik. Dengan mempelajari fikih itulah kita akan bisa memahami bagaimana tata cara beribadah dan bermuamalah yang perintahkan oleh Allah ta’ala dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) adz-Dzikr (al-Qur’an) supaya kamu jelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka itu dan mudah-mudahan mereka mau memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik untuk kalian, yaitu bagi siapa saja yang berharap kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain apa yang diucapkannya itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)
[2] Pengertian Istilah Hadits
Hadits secara bahasa bermakna sesuatu yang baru, kebalikan dari sesuatu yang lama. Adapun hadits dalam istilah para ulama ahli hadits adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, ataupun sifat. Terkadang hadits juga disebut dengan istilah lain, yaitu sunnah, khabar, dan atsar (lihat al-Hadits an-Nabawi, Dr. Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal. 137-138)
[3] Pengertian Istilah Fikih
Secara bahasa fikih artinya pemahaman. Sehingga fikih menurut perspektif bahasa lebih luas daripada fikih menurut istilah ulama fikih (lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 13 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)
Adapun secara istilah, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa fikih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at yang bersifat cabang/furu’ disertai dengan dalil-dalilnya dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas (lihat Ibhaj al-Mu’minin bi Syarhi Manhajis Salikin [1/41] karya Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahullah).
Sebagian ulama yang lain, berpendapat bahwa penggunaan istilah furu’ untuk ilmu fikih kurang tepat. Menurut mereka pembagian hukum Islam menjadi ushul dan furu’ adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena ia tidak memiliki landasan dari al-Kitab maupun as-Sunnah. Misalnya, berdasarkan pembagian ini sebagian orang memasukkan sholat dalam kategori perkara furu’. Padahal, sholat termasuk perkara ushul (pokok) yang sangat mendasar. Oleh sebab itu Syaikh Utsaimin rahimahullah memilih mendefinisikan fikih sebagai: mengetahui hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah -bukan furu’- dengan dalil-dalilnya yang terperinci (lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 13)
Meskipun demikian, sebenarnya para ulama salaf tidak membatasi penggunaan istilah fikih hanya pada hukum-hukum amaliah. Bahkan mereka pun menyebut ilmu akidah sebagian bagian dari ilmu fikih, atau biasa dikenal dengan sebutan fikih akbar. Oleh sebab itu sebagian ulama masa kini seperti Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menyusun sebuah buku dalam masalah akidah dengan judul Fiqh al-Asma’ al-Husna (lihat kitab beliau tersebut, hal. 11)
[4] Kaitan Ilmu Tafsir Dengan Ilmu Tauhid
Para ulama menjelaskan, bahwa sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an jika dicermati secara seksama maka ia tidak pernah keluar dari pembicaraan seputar tauhid. Sebab, ayat al-Qur’an itu terdiri dari beberapa bentuk pembahasan:
– Ayat-ayat yang berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid al-‘ilmi al-khabari (tauhid ini telah mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat)
– Ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah semata dan ajakan untuk mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid al-iradi ath-thalabi (disebut juga tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah)
– Ayat-ayat yang berisi perintah dan larangan serta pengharusan untuk taat kepada-Nya, maka ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya (huquuqut tauhid wa mukammilaatuhu). Inilah yang biasa dikenal dengan istilah hukum syari’at atau fikih
– Ayat-ayat yang berisi pemberitaan mengenai kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah berikan kepada mereka sewaktu di dunia dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka kelak di akhirat. Maka itu semua merupakan balasan atas ketauhidan yang telah diwujudkan oleh mereka selama hidup di dunia
– Ayat-ayat yang berisi berita tentang orang-orang musyrik serta hukuman yang Allah timpakan kepada mereka ketika di dunia dan siksaan yang Allah berikan untuk mereka kelak di akhirat. Maka ini merupakan balasan setimpal bagi orang yang menyimpang dari hukum tauhid (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 89 takhrij Syaikh al-Albani dan Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 15)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa terdapat kaitan yang sangat erat antara ilmu tafsir al-Qur’an dengan tauhid. Karena pada hakikatnya seluruh ayat al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, walaupun dari sudut yang berlainan. Bukankah di dalam al-Qur’an kita sering mendapati penyebutan nama-nama dan sifat-sifat-Nya? Bukankah di dalam al-Qur’an pula kita bisa menemukan bagaimana kisah-kisah para pejuang tauhid dan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka? Bukankah di dalam al-Qur’an pun kita temukan cerita tentang surga yang itu hanya akan dimasuki oleh orang yang bertauhid? Bukankah di dalam al-Qur’an kita juga menjumpai cerita tentang dahsyatnya neraka yang itu akan menjadi tempat tinggal tetap bagi orang yang tidak bertauhid?
[5] Kaitan Surat al-Fatihah Dengan Ilmu Tauhid
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah memaparkan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah membicarakan tentang tauhid, hak-haknya, balasan atasnya, dan juga membicarakan tentang syirik, pelakunya dan hukuman atas mereka. Maka, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar-Rahmanir Rahim juga tauhid. Maaliki yaumid diin pun tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in pun tentang tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim pun mengajarkan tauhid yang di dalamnya berisi permohonan petunjuk menuju jalan orang yang bertauhid. Mereka itulah Alladzina an’amta ‘alaihim. Adapun Ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin adalah orang-orang memisahkan diri dari tauhid (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89-90)
Dari sinilah, maka kita bisa memahami betapa agungnya surat al-Fatihah ini. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ajaran Islam, pokok-pokok ajaran tauhid. Mentauhidkan Allah sebagai satu-satunya Rabb, yang mencipta, memelihara, mengatur dan menguasai alam semesta. Mentauhidkan Allah sebagai pemilik nama-nama dan sifat-sifat yang terindah, yang tidak diserupai oleh makhluk-Nya. Mentauhidkan Allah dalam hal ibadah, dalam hal isti’anah/memohon pertolongan. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantungnya hati, tumpuan rasa takut dan harapan, puncak rasa cinta dan perendahan diri. Menjadikan hidayah kepada tauhid sebagai cita-cita terbesar dan kenikmatan yang senantiasa diidam-idamkan. Dan menjadikan penyimpangan dari tauhid sebagai musibah dan malapetaka yang paling dikhawatirkan. Allahul musta’aan.
Kesimpulan:
1. Ilmu hadits dan fikih memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu tafsir
2. Hadits merupakan penafsiran ajaran al-Qur’an dalam kehidupan
3. Fikih merupakan penjelasan terhadap hukum-hukum al-Qur’an
4. Ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan ilmu tafsir karena inti ajaran al-Qur’an adalah tauhid
5. Surat al-Fatihah adalah surat yang berisi pokok-pokok ajaran tauhid